DEMOKRASI
PENDIDIKAN UNTUK WARGA JAKARTA
(Oleh: Dwi Rio Sambodo)
Di
masa Kebangunan, maka sebenarnya tiap-tiap
orang
harus menjadi pemimpin, menjadi guru.
Pemimpin!
Guru! Alangkah haibatnya pekerjaan menjadi pemimpin dalam sekolah, menjadi guru
di dalam sekolah, menjadi guru dalam arti yang special, yakni menjadi pembentuk akal dan jiwa anak-anak! Terutama sekali di zaman Kebangunan! Hari kemudiaannya
manusia adalah di dalam tangan si guru itu,-menjadi Manusia Kebangunan atau
bukan Manusia Kebangunan. (Menjadi Guru di Masa Kebangunan; Di Bawah
Bendera Revolusi : Ir soekarno)
” APA CITA-CITA MU,
KALAU SUDAH BESAR?” demikian pertanyaan yang sering diajukan lingkungan
kita dimasa kecil. Biasanya, beragam profesi seperti Dokter, Pengusaha,
Presiden, Pilot, Insinyur atau Tentara dengan penuh semangat kita beri sebagai
jawaban. Kemudian nasehat untuk rajin bersekolah plus doa, akan kita terima
sebagai jawaban balik. Dari dialog ini kita mendapatkan gambaran, betapa lewat
pendidikan harapan akan perubahan nasib, begitu besar digantungkan. Melalui
jenjang pendidikan, cakrawala pembuka gerbang kesejahteraan seolah menjadi
dimungkinkan. Situasi dialog ini dimungkinkan terjadi, pada lingkungan yang
relatif telah terpenuhi standar minimum kesejahteraannya. Berbeda dengan mereka
yang miskin, membayangkan sekolah menjadi ’hantu’ tersendiri. Mulai dari
kerumitan birokrasinya sampai beragam iuran yang wajib dipenuhi. Belum lagi
urusan uang jajan harian yang bikin kepala tambah puyeng. Walhasil bukan
perkara cita-cita yang kerap terlontar, malah pesimisme ”sudah mahal, paling
ujung-ujungnya nganggur”. Sejak awal dalam proses perjuangan pergerakan
kemerdekaan, Pendiri Bangsa telah menetapkan bahwa, salah satu tujuan pendirian
negara Indonesia Merdeka adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,
sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Cerdas yang dimaksud tentu dapat
dimaknai upaya melepaskan bangsa ini dari keterjajahan, keterbelakangan dan
kebodohan, kemudian mampu membangun kemandirian bangsa lewat penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Ini berlaku untuk seluruh anak negeri tanpa
terkecuali. Tanpa memandang suku, agama, ras dan status sosial. Pasalnya,
penguasa kolonial saat itu telah mempraktekan diskriminasi pendidikan. Akses
pendidikan dibatasi hanya untuk golongan tertentu dengan kurikulum serta
pembentukan watak ”intelektual tukang” yang mengabdi untuk kelangsungan
penjajahan. Kesetaraan terhadap akses pendidikan menjadi kunci dalam upaya
memajukan kesejahteraan umum. Semua dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945
(Pasal 31, Setiap Warga Negara berhak mendapat pendidikan) serta seperangkat
undang-undang pendukung dibawahnya. Pertanyaan yang patut diajukan kemudian
adalah betulkah sekarang ini akses pendidikan telah dibuka tanpa diskriminasi?
Dibawah ini coba mengurai situasi tersebut dalam konteks yang dialami warga
kota Jakarta.
Demokrasi Pendidikan
Sebagai Kota
yang serba pusat, baik pusat pemerintahan, pusat bisnis maupun pusat
pendidikan, Jakarta tentu memiliki kompleksitas permasalahan tersendiri
dibanding kota-kota lainnya. Kemajuan pendidikan warganya menjadi tolok ukur
kemajuan Indonesia, demikian pula sebaliknya. Dalam konteks pendidikan, problem
pokok Jakarta adalah bagaimana akses terhadap pendidikan yang berkualitas mampu
dinikmati oleh seluruh warganya. Tanpa diskriminasi. Dalam kebijakan anggaran
pendidikan di DKI Jakarta menunjukkan bahwa APBD 2012 telah melakukan
peng-alokasi-an 9,78 miliar atau 28,93% anggaran dari total APBD 2012 sebesar
Rp. 36,02 Triliun (Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 mengamanatkan APBN maupun APBD
untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20%). Komponen
anggarannya diprioritaskan untuk Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) guna
siswa dapat ditanggulangi iurannya untuk mempertahankan pendidikandasar secara
gratis, memperbaiki maupun membangun sarana prasasarana sekolah yang rusak dan
untuk anggaran tenaga pendidik supaya mampu meningkatkan kualitas ajarnya. Seyogyanya
dengan besaran anggaran yang dialokasikan, keluhan warga tentang sulitnya akses
pendidikan berkualitas tentu tak lagi terdengar, seperti; pungutan liar, iuran
menunggak, ijazah ditahan, uang pangkal tak terjangkau, tak boleh ikut ujian
karena belum lunas, bangunan sekolah tak layak, kualitas sarana sekolah tidak
optimal, dll. Namun faktanya permasalahan di bidang pendidikan masih sangat
menumpuk sebagaimana contoh di atas termasuk banyak dari mereka adalah warga
miskin belum benar-benar merasakan manfaatnya. Perkara sekolah gratis misalnya,
apa yang diberitakan oleh pemerintah ternyata jauh berbeda yang dirasakan oleh
warga. Persepsi gratis dalam benak masyarakat tentu sekolah berjalan tanpa
pungutan apapun. Persis seperti iklan komersial, info yang disajikan selalu
bombastik dan tidak utuh. Celakanya perbedaan presepsi ini dianggap sebagai
kesalahan warga yang kurang menggali informasi. Hal lain yang menghambat proses
demokrasi pendidikan kita adalah lingkaran setan ”mafia pendidikan”.
Kecondongan kultur proyekisme yang coba dibendung dalam semangat reformasi
pendidikan telah terbelokan arahnya. Peningkatan anggaran yang secara prosedur
harusnya mampu mendongkrak kualitas pendidikan kita, terbajak pada kecondongan
orientasi bisnis alias mengedepankan laba semata dalam pelaksanaan program
tersebut. Kualitas pelaksanaan program pendidikan baik secara fisik maupun non
fisik patut dipertanyakan kualitasnya. Bisa jadi secara teknis administratif
kualifikasi transparansi sudah terpenuhi, yang terang dari hari ke hari
peningkatan alokasi dana pendidikan tidak berbanding lurus dengan peningkatan akses
pendidikan bagi warga miskin. Seperti pelaksanaan Beasiswa utk warga miskin yg
tak semua warga mendapatkan akses dan informasinya. Pertanyaan yang patut kita
ajukan disini adalah, siapa yang diuntungkan dengan peningkatan besaran alokasi
dana pendidikan? Warga miskin atau para ”mafia pendidikan” kah? Prasyarat
berikutnya agar Demokrasi Pendidikan terbangun adalah paradigma peraturan yang
berpihak pada warga miskin. Perda tentang Sistem Pendidikan Daerah yang
mengatur tentang tata cara pelaksanaan pendidikan bagi warga kota, harus
memiliki semangat keberpihakan kepada mereka yang termarjinalkan. Meski niat
luhur tersebut telah dimaktubkan dalam konsideran Perda, kedepan keberpihakan
kepada warga miskin harus menjiwai semangat pelaksanaan Perda tersebut.
misalnya cara pandang bahwa di luar kategori warga kota, tanggung jawab
pendidikan bukanlah kewajiban pemerintah sudah harus ditanggalkan. Siapapun dia
sebagai warga Indonesia memiliki hak untuk pendidikan yang berkualitas.
Kemudian anggapan bahwa warga miskin hanya menjadi beban pemerintah juga harus
dihilangkan. Karena pada hakikatnya adanya sebuah pemerintahan dimaksudkan
untuk melayani warganya. Program-program alternatif bagi mereka yang
termarjinalkan seperti SMP terbuka, SMK terbuka yang seharusnya secara
konseptual mampu menjadi pilihan rasional obyektif bagi warga miskin, harus
dikawal agar tidak berhenti menjadi proyekisme. Perjuangan membangun Demokrasi
Pendidikan memang tidak semudah yang dibayangkan. Sekian tantangan akan saling
membelit proses tersebut. Keberpihakan dengan mengajarkan ilmu pengetahuan,
memfasilitasi proses transformasi pendidikan, membuka akses seluas-luasnya
untuk mengaplikasi ilmu pengetahuan yang dimiliki serta melindungi kepentingan
warga miskin (mayoritas lapisan masyarakat) seharusnya menjadi prioritas
pemerintah dalam program pendidikan. Sekaligus menjadi agenda pembahasan utama
dalam lingkup legislatif. Jika arah kebijakan pendidikan Jakarta mengarah
kesana bukan tidak mungkin pesimisme berubah menjadi tekad. Dan tekad adalah
modal dasar perubahan. Ditengah semakin mengguritanya liberalisasi dimana-mana
termasuk di ranah pendidikan, maka menjadi tuntutan bagi banyak pihak yang
merindukan pendidikan yang berkeadilan berbasis konsepsi demokrasi pendidikan.
Karena jika pemerintah daerah yang merepresentasikan negara di Provinsi DKI
Jakarta tidak mampu melahirkan demokrasi pendidikan bagi semua warga maka
apatisme rakyat terhadap negara akan menunggu waktunya untuk meledak.
Liberalisasi pendidikan akan sangat mengancam banyak hal di bidang pendidikan,
diantaranya, lahirnya kastanisasi ataupun komersialisasi pendidikan dan yang
terpenting lagi yaitu liberalisasi kurikulum yang tidak lagi berorientasi
mengabdi untuk membangun bangsa tapi hanya berorientasi mengabdi kepada pemodal
dengan kecenderungan menjadi indvidualistik serta tidak menjadi anak bangsa
yang berkarakter, alhasil saat menduduki jabatan publik, kebijakannya cenderung
menindas rakyat. Radikalisasi perubahan paradigma dalam menata dan melaksanakan
bangunan system pendidikan yang berkarakter dan konsisten. Menurut penulis,
konkretnya dikelola secara prinsip dalam era Jakarta Baru dibawah Pemimpin Baru
di Jakarta yang mampu memimpin secara sungguh-sungguh dan meneladani.
MERDEKA
!!!
Wakil Ketua Bidang Pendidikan, Kebudayaan & Keagamaan-DPD PDI Perjuangan Provinsi DKI Jakarta, 2010-2015
Wakil Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan-Komisi E (Bidang Pendidikan)-DPRD Provinsi DKI Jakarta, 2009-20014