Senin, 23 Juli 2012


DEMOKRASI PENDIDIKAN UNTUK WARGA JAKARTA
(Oleh: Dwi Rio Sambodo)

Di masa Kebangunan, maka sebenarnya tiap-tiap
orang harus menjadi pemimpin, menjadi guru.

Pemimpin! Guru! Alangkah haibatnya pekerjaan menjadi pemimpin dalam sekolah, menjadi guru di dalam sekolah, menjadi guru dalam arti yang special, yakni menjadi pembentuk akal dan jiwa anak-anak! Terutama sekali di zaman Kebangunan! Hari kemudiaannya manusia adalah di dalam tangan si guru itu,-menjadi Manusia Kebangunan atau bukan Manusia Kebangunan.  (Menjadi Guru di Masa Kebangunan; Di Bawah Bendera Revolusi : Ir soekarno)

 ” APA CITA-CITA MU, KALAU SUDAH BESAR?” demikian pertanyaan yang sering diajukan lingkungan kita dimasa kecil. Biasanya, beragam profesi seperti Dokter, Pengusaha, Presiden, Pilot, Insinyur atau Tentara dengan penuh semangat kita beri sebagai jawaban. Kemudian nasehat untuk rajin bersekolah plus doa, akan kita terima sebagai jawaban balik. Dari dialog ini kita mendapatkan gambaran, betapa lewat pendidikan harapan akan perubahan nasib, begitu besar digantungkan. Melalui jenjang pendidikan, cakrawala pembuka gerbang kesejahteraan seolah menjadi dimungkinkan. Situasi dialog ini dimungkinkan terjadi, pada lingkungan yang relatif telah terpenuhi standar minimum kesejahteraannya. Berbeda dengan mereka yang miskin, membayangkan sekolah menjadi ’hantu’ tersendiri. Mulai dari kerumitan birokrasinya sampai beragam iuran yang wajib dipenuhi. Belum lagi urusan uang jajan harian yang bikin kepala tambah puyeng. Walhasil bukan perkara cita-cita yang kerap terlontar, malah pesimisme ”sudah mahal, paling ujung-ujungnya nganggur”. Sejak awal dalam proses perjuangan pergerakan kemerdekaan, Pendiri Bangsa telah menetapkan bahwa, salah satu tujuan pendirian negara Indonesia Merdeka adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Cerdas yang dimaksud tentu dapat dimaknai upaya melepaskan bangsa ini dari keterjajahan, keterbelakangan dan kebodohan, kemudian mampu membangun kemandirian bangsa lewat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini berlaku untuk seluruh anak negeri tanpa terkecuali. Tanpa memandang suku, agama, ras dan status sosial. Pasalnya, penguasa kolonial saat itu telah mempraktekan diskriminasi pendidikan. Akses pendidikan dibatasi hanya untuk golongan tertentu dengan kurikulum serta pembentukan watak ”intelektual tukang” yang mengabdi untuk kelangsungan penjajahan. Kesetaraan terhadap akses pendidikan menjadi kunci dalam upaya memajukan kesejahteraan umum. Semua dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 31, Setiap Warga Negara berhak mendapat pendidikan) serta seperangkat undang-undang pendukung dibawahnya. Pertanyaan yang patut diajukan kemudian adalah betulkah sekarang ini akses pendidikan telah dibuka tanpa diskriminasi? Dibawah ini coba mengurai situasi tersebut dalam konteks yang dialami warga kota Jakarta.


Demokrasi Pendidikan
Sebagai Kota yang serba pusat, baik pusat pemerintahan, pusat bisnis maupun pusat pendidikan, Jakarta tentu memiliki kompleksitas permasalahan tersendiri dibanding kota-kota lainnya. Kemajuan pendidikan warganya menjadi tolok ukur kemajuan Indonesia, demikian pula sebaliknya. Dalam konteks pendidikan, problem pokok Jakarta adalah bagaimana akses terhadap pendidikan yang berkualitas mampu dinikmati oleh seluruh warganya. Tanpa diskriminasi. Dalam kebijakan anggaran pendidikan di DKI Jakarta menunjukkan bahwa APBD 2012 telah melakukan peng-alokasi-an 9,78 miliar atau 28,93% anggaran dari total APBD 2012 sebesar Rp. 36,02 Triliun (Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 mengamanatkan APBN maupun APBD untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20%). Komponen anggarannya diprioritaskan untuk Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) guna siswa dapat ditanggulangi iurannya untuk mempertahankan pendidikandasar secara gratis, memperbaiki maupun membangun sarana prasasarana sekolah yang rusak dan untuk anggaran tenaga pendidik supaya mampu meningkatkan kualitas ajarnya. Seyogyanya dengan besaran anggaran yang dialokasikan, keluhan warga tentang sulitnya akses pendidikan berkualitas tentu tak lagi terdengar, seperti; pungutan liar, iuran menunggak, ijazah ditahan, uang pangkal tak terjangkau, tak boleh ikut ujian karena belum lunas, bangunan sekolah tak layak, kualitas sarana sekolah tidak optimal, dll. Namun faktanya permasalahan di bidang pendidikan masih sangat menumpuk sebagaimana contoh di atas termasuk banyak dari mereka adalah warga miskin belum benar-benar merasakan manfaatnya. Perkara sekolah gratis misalnya, apa yang diberitakan oleh pemerintah ternyata jauh berbeda yang dirasakan oleh warga. Persepsi gratis dalam benak masyarakat tentu sekolah berjalan tanpa pungutan apapun. Persis seperti iklan komersial, info yang disajikan selalu bombastik dan tidak utuh. Celakanya perbedaan presepsi ini dianggap sebagai kesalahan warga yang kurang menggali informasi. Hal lain yang menghambat proses demokrasi pendidikan kita adalah lingkaran setan ”mafia pendidikan”. Kecondongan kultur proyekisme yang coba dibendung dalam semangat reformasi pendidikan telah terbelokan arahnya. Peningkatan anggaran yang secara prosedur harusnya mampu mendongkrak kualitas pendidikan kita, terbajak pada kecondongan orientasi bisnis alias mengedepankan laba semata dalam pelaksanaan program tersebut. Kualitas pelaksanaan program pendidikan baik secara fisik maupun non fisik patut dipertanyakan kualitasnya. Bisa jadi secara teknis administratif kualifikasi transparansi sudah terpenuhi, yang terang dari hari ke hari peningkatan alokasi dana pendidikan tidak berbanding lurus dengan peningkatan akses pendidikan bagi warga miskin. Seperti pelaksanaan Beasiswa utk warga miskin yg tak semua warga mendapatkan akses dan informasinya. Pertanyaan yang patut kita ajukan disini adalah, siapa yang diuntungkan dengan peningkatan besaran alokasi dana pendidikan? Warga miskin atau para ”mafia pendidikan” kah? Prasyarat berikutnya agar Demokrasi Pendidikan terbangun adalah paradigma peraturan yang berpihak pada warga miskin. Perda tentang Sistem Pendidikan Daerah yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan pendidikan bagi warga kota, harus memiliki semangat keberpihakan kepada mereka yang termarjinalkan. Meski niat luhur tersebut telah dimaktubkan dalam konsideran Perda, kedepan keberpihakan kepada warga miskin harus menjiwai semangat pelaksanaan Perda tersebut. misalnya cara pandang bahwa di luar kategori warga kota, tanggung jawab pendidikan bukanlah kewajiban pemerintah sudah harus ditanggalkan. Siapapun dia sebagai warga Indonesia memiliki hak untuk pendidikan yang berkualitas. Kemudian anggapan bahwa warga miskin hanya menjadi beban pemerintah juga harus dihilangkan. Karena pada hakikatnya adanya sebuah pemerintahan dimaksudkan untuk melayani warganya. Program-program alternatif bagi mereka yang termarjinalkan seperti SMP terbuka, SMK terbuka yang seharusnya secara konseptual mampu menjadi pilihan rasional obyektif bagi warga miskin, harus dikawal agar tidak berhenti menjadi proyekisme. Perjuangan membangun Demokrasi Pendidikan memang tidak semudah yang dibayangkan. Sekian tantangan akan saling membelit proses tersebut. Keberpihakan dengan mengajarkan ilmu pengetahuan, memfasilitasi proses transformasi pendidikan, membuka akses seluas-luasnya untuk mengaplikasi ilmu pengetahuan yang dimiliki serta melindungi kepentingan warga miskin (mayoritas lapisan masyarakat) seharusnya menjadi prioritas pemerintah dalam program pendidikan. Sekaligus menjadi agenda pembahasan utama dalam lingkup legislatif. Jika arah kebijakan pendidikan Jakarta mengarah kesana bukan tidak mungkin pesimisme berubah menjadi tekad. Dan tekad adalah modal dasar perubahan. Ditengah semakin mengguritanya liberalisasi dimana-mana termasuk di ranah pendidikan, maka menjadi tuntutan bagi banyak pihak yang merindukan pendidikan yang berkeadilan berbasis konsepsi demokrasi pendidikan. Karena jika pemerintah daerah yang merepresentasikan negara di Provinsi DKI Jakarta tidak mampu melahirkan demokrasi pendidikan bagi semua warga maka apatisme rakyat terhadap negara akan menunggu waktunya untuk meledak. Liberalisasi pendidikan akan sangat mengancam banyak hal di bidang pendidikan, diantaranya, lahirnya kastanisasi ataupun komersialisasi pendidikan dan yang terpenting lagi yaitu liberalisasi kurikulum yang tidak lagi berorientasi mengabdi untuk membangun bangsa tapi hanya berorientasi mengabdi kepada pemodal dengan kecenderungan menjadi indvidualistik serta tidak menjadi anak bangsa yang berkarakter, alhasil saat menduduki jabatan publik, kebijakannya cenderung menindas rakyat. Radikalisasi perubahan paradigma dalam menata dan melaksanakan bangunan system pendidikan yang berkarakter dan konsisten. Menurut penulis, konkretnya dikelola secara prinsip dalam era Jakarta Baru dibawah Pemimpin Baru di Jakarta yang mampu memimpin secara sungguh-sungguh dan meneladani.

 MERDEKA !!!
Wakil Ketua Bidang Pendidikan, Kebudayaan & Keagamaan-DPD PDI Perjuangan Provinsi DKI Jakarta, 2010-2015
Wakil Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan-Komisi E (Bidang Pendidikan)-DPRD Provinsi DKI Jakarta, 2009-20014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar