Mengisi Ribuan Pulau Kosong
Oleh Bahtiar Ginting
Pemerintah pusat akan menangani
88 pulau kosong di perbatasan demi kedaulatan bangsa dan kepentingan nasional,
demikian keterangan Menteri Kelautan Indonesia.
Sementara masih terdapat ribuan
pulau-pulau kosong di wilayah kedaulatan Indonesia, yang berjarak 1 mil dari
pantai, lain lagi yang berjarak 200 mil untuk wilayah operasional ekonomi
(ZEE). Luas daratan dari pulau-pulau kosong itu masih lebih besar dibanding
luas daerah yang dihuni penduduk. Persoalan pokok dari kenyataan itu adalah
karena orang Indonesia lebih senang tinggal di kota ketimbang bergulat di
lokasi yang masih bernuansa ‘untung rugi’. Bukan berarti orang Indonesia tidak
suka main ‘untung-rugi’ sejenis perjudian.
Kalaupun sekarang masih banyak
orang yang tinggal di pedesaan itu pun karena kekurang-beranian ‘mengadu-nasib’
di perkotaan, padahal angan-angan orang desa adalah kepingin tinggal dan hidup
di kota, menjadi pegawai negeri. Dan yang masih punya keberanian mengadu nasib
adalah di kalangan anak muda. Maka pemuda-pemuda pedesaan, ketimbang mengurusi tanah
pertanian yang statusnya tidak jelas mendingan jadi urban, di mana kemungkinan
mengadu nasib masih ada.
Pemuda-pemuda pedesaan yang masuk
ke kota, bukan hanya di Jawa, malah lebih hebat lagi yang di luar Jawa, dengan tujuan selain kota besar di
pulau Sumatera, Kalimantan atau Sulawesi, sasaran akhir adalah Jakarta.
Kebulatan tekad untuk bisa tinggal di Jakarta adalah dorongan semangat yang
diinspirasikan oleh anggapan bahwa Jakarta adalah segalanya. Bagaimana bisa
terbentuk anggapan, bahwa Jakarta adalah segalanya ?
Persoalan kita memang di sini.
Anggapan mulai terbentuk dari masa kanak-kanak. Sejak dari TK, SD dan
selanjutnya sampai ke perguruan tinggi, anggapan senantiasa diarahkan kepada
‘menikmati kehidupan’. Kehidupan yang nikmat dipupuk dari kecil, adalah hidup
yang senang. Hidup yang senang itu adalah ‘tidak ada pertarungan, tidak ada
ketakutan, lalu di seberangnya ‘terdapat kecukupan’, terdapat keamanan. Tapi di
atas itu, kenikmatan yang diharapkan adalah ‘kemuliaan’. Sementara kemuliaan
dikaitkan dengan kekuasaan dan kekayaan. Kekayaan yang dapat dipamerkan
(walaupun bukan di tempat pameran) ke tengah masyarakat, keindahan
rumah-gedung, keistimewaan kendaraan, sehingga semua tetangga memuji keberadaan
diri.
Terbentuknya anggapan umum, bahwa
kehormatan adalah kekayaan, seakan tidak disadari oleh semua kalangan. Semua
mass-media juga semua lembaga pendidikan tetap mengutarakan bahwa kekayaan
adalah tanpa disadari adalah kehormatan. Sebuah contoh, seandainya pendapatan
anggota DPR hanya Rp. 300.000 satu bulan, dan jika lebih dari itu dia
ditangkap, maka tidak satu orang pun mau jadi anggota DPR. Padahal mewakili
rakyat itu adalah kerja mulia. Anggapan seperti ini sudah menjadi kebudayaan
bangsa kita. Maka amat masuk akal, jika
setiap pemuda, tidak terbuka nuraninya menjadi pionir, menjadi pelaku utama
membuka lahan kosong di ribuah pulau yang belum berpenghuni. Ketidak-terbukaan
hati nurani pemuda untuk terjun ke daerah terpencil, bukan saja didukung oleh
ibu-bapaknya, tapi juga didukung oleh ahli-ahli pembangunan kita, yang memang didasari
orientasinya ke medan kapitalis ala Barat. Ahli-ahli ekonomi kita yang memang
berdasar kapitalisme mereka mau dibuka pulau-pulau kosong itu oleh investor
asing, lalu nanti ke sana akan dikirim pemuda-pemuda sebagai buruh. Dan status
pulau itu dikontrak 50 sampai 100 tahun.
Ada baiknya, jika
pemimpin-pemimpin formal Negara kita sekarang ini mau mempelajari apa alasan
Bung Karno menggerakkan Trikora di tahun 1958. Sebab dengan Trikora itu
dihimpun 21 juta pemuda bergerak ke wilayah Timur, dengan alasan ‘membebaskan
Irian Barat’. Padahal Bung Karno sudah memprogramkan pemuda itu tidak akan
kembali ke daerah asal, melainkan akan menjadi pionir di pulau-pulau kosong di
Wilayah Timur sana. Trikora dilanjutkan dengan Dwikora, dengan alasan ‘menolak
proyek Malaysia’ padahal pemuda-pemuda sukarelawan tadi diposkan mengisi
pulau-pulau kosong yang ada di sekitar Kalimantan, seperti Pulau Karimata, dll.
Tapi program strategis Bung Karno dimaklumi oleh Nekolim, dianggap berbahaya,
maka ditugaskan Suharto menghantam Bung Karno, sebelum proyek pengisian
pulau-pulau kosong nasional dipenuhi oleh pemuda pionir.
Andaikata tahun 2003 ini,
pemimpin-pemimpin Indonesia, baik yang di partai politik, di legislatif atau di
eksekutif menyadari bagaimana pentingnya posisi pulau-pulau kosong itu, baik
dari sektor ekonomi, terutama sektor pertahanan, dikelola dengan baik, maka
anggapan selama ini bisa diubah secara radikal, sehingga muncul anggapan baru,
bahwa menempati pulau-pulau kosong itu adalah kebajikan.
Kisah Sipadan dan Ligitan,
hendaknya menjadi perhatian orang yang duduk sebagai pemimpin itu, jangan
terulang kepada pulau-pulau yang berbatasan dengan Negara lain. Soalnya menteri
kelautan sudah menyatakan bahwa pulau pelapis dikuasai Thailand, Pulau Miangas
dikuasai Filipina. Bagaimana pun rakyat Indonesia, jika nanti sudah kembali
kepada karakter dasar yang revolusioner, tidak membiarkan Sipadan-Ligitan
dibawah kedaulatan Negara lain, begitu juga pulau-pulau lainnya. Bahwa untuk
itu nanti, akan melalui proses semacam Trikora, hendaknya dari sekarang
dipertimbangkan. Ada baiknya pemimpin-pemimpin formal kita lebih memikirkan
kepentingan bangsa, ketimbang bertarung memperebutkan kursi presiden.
Seperti Amerika Serikat, yang di
abad ke-15 adalah tempat pembuangan narapidana-narapidana dari Eropa, tapi
kemudian si narapidana itu menjadi bangsa dan memproklamasikan Negara Amerika
tahun 1776. Contoh sejarah ini ada baiknya dipertimbangkan oleh pemimpin-pemimpin
Negara kita sekarang ini, bagaimana caranya mengsi pulau-pulau kosong yang
ribuan jumlahnya itu, bagi kesejahteraan penghuni dan keamanan banga.
Jika misalnya, para penganggur
perkotaan sekarang ini, yang jumlahnya juga lebih dari satu juta dikoordinir
dan secara bertahap dan tekun di tahun pertama dikirim 10.000 pasang ke pulau
kosong, kemudian tahun berikutnya 10.000 pasang lagi, maka pengangguran di kota
secara bertahap akan habis. Sementara pejuang pionir kepulauan samakin banyak.
Program seperti ini dapat dilanjutkan sehingga tidak satu pulau pun di wilayah
kedaulatan Indonesia yang kosong. Tapi tentu saja program seperti ini, dananya
tidak mungkin diberi pinjam oleh IMF, melainkan kita sesama rakyat Indonesia
yang bergotong-royong menghimpun dana. Dan percayalah program ini pasti akan
dikerjakan, jika tidak oleh pemimpin formal yang sekarang, nanti dalam belasan
tahun mendatang, sudah akan ditangani oleh pemimpin yang revolusioner.
Bagin
29 Mei 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar