TENTANG CERITA


EKSPRESI

___________________________________________________________________________________________________

BADRUN SANG PEMBERONTAK

Oleh : Hasyim Ahmadi




MORNING
SELAMAT PAGI….
Pukul 24.00 Menjelang dini hari, disini orang-orang masih menyibukan diri, sibuk penuh kerumunan pada saat tetangga kampung-kampung disekitar terlelap tertidur pulas, pengap, sumpek, berisik dan penuh sumpah serapah orang-orangnya. Anak-anak dibangunkan oleh keterpaksaan yang merenggut malamnya untuk istirahat. Anak-anak disini membawa penyakit jiwa yang diturunkan oleh orang-orang tua mereka yang menjadi warisan berkala yang diterimanya tanpa Hibah melalui kantor–kantor hukum resmi. Pagi saat kebanyakan orang-orang asik siap untuk beraktifitas dan bekerja, mereka asik terlelap tidup, dan tak ingin diganggu, hari-hari yang melelahkan. Sambil keluar rumah dengan muka masam, tak lupa membawa kemarahan, prilaku jiwa yang aneh dan tak lazim bagi anak seusia Badrun, Umur baru 14 tahun, persoalaan 45 Tahun. Membawa beban rumah tangga , menanggung Ibunya yang mulai sakit-sakitan dan 5 orang adiknya yang masih kecil-kecil dan ditambah Ayahnya yang sangat dibencinya.
Seorang yang pembawaan agak pendiam namun keras kepala, raut wajahnya kasar, tarikan wajahnya menyiratkan semangat ketidakpuasan dan pembangkangan yang keras, jelas dari sorot matanya yang tajam Ia Nampak menolak kehidupan selama ini, Seumur hidupnya, mungkin ketika Ia masih dikandungan, yang diceritakan Ibunya, kalo tangisannya membuat gerah pejabat Pemerintah yang kebetulan pada waktu ini tinggal dan bertetangga dengan almarhum kakeknya, kelahiranya yang hanya ditemani sebatang lilin yang hampir Habis nyala apinya, serta bilik bambu dan Bale yang kini menjadi tempat tidurnya, akte kelahirannya pun dicatat pada kayu dingding pojokan rumahnya, dengan sebatang paku karat, yang telah lama disimpannya, berbekal keterampilan menulis sang Ibunda, berbidankan semangat kuat Ibunya sendiri tanpa ruang layaknya seorang pada zamannya lahir, ditemani temaram lampu lilin, dan semangat untuk merendahkan harga diri pejabat serta dokter, dengan tidak meminjam uang kepada pejabat yang kebetulan tetangga nya sendiri, yang kemudian harinya, ia harus menanggung beban hutangnya berkali kali lipat, berikut bayi yang akan dilahirkan juga menaggung beban akibatnya, ya” beban hutang, Bayi menanggung beban hutang. Berbeda dengan lahirnya seorang pembrontak yang merdeka, terlahir tanpa beban hutang, lahir atas karunia Allah SWT dan semangat untuk menjadi orang yang merdeka. Bayi yang terlahir ditengah huru-hara politik ketika Amir Biki ditembaki oleh Tentara, peristiwa pembangkangan terhadap rezim Soeharto, zaman berubah dari rezim penguasa satu kepenguasa lainnya, penguasa dzolim dan lalim, penguasa yang bertamengkan Demokrasi, yang tak pernah kumengerti binatang apa itu, yang kumengerti hanyalah buas, menginjak, membunuh perlahan tapi pasti dan hingga hari ini demokrasiku, demokrasi menahan lapar, mencari makan lewat cara yang tak halal, mencopet dan menjambret orang-orang berduit. Bahkan harampun kini kukatakn halal, apabila perutku lapar, Ibuku sakit, atupun adik-adikku tak makan, juga kawan-senasibku. Kebencian yang dibidani oleh kesusahan hidup, muak dengan prilaku yang kasar, dan merugikan orang, pahitnya kenyataan membunuh ketegaanku untuk melakukan prilaku haram, atau mati ditelan kerasnya hidup, dizaman Cicak dan Buaya bertengkar, dimasa Bank Century Membobol Uang Negara, Dizaman serba muak negara tetangga reseh, mengklaim Batik, Reog Ponorogo, Tari Pendet, Zaman tak Berwibawa, zamanya ketiak Asing jadi parfum..............bersambung

____________________________________________________________________________________________________
____________________________________________________________________________________________________
BERDIKARI EDISI I/Tahun.I/September/2000

CAMPUR TANGAN
Oleh Paiyan Jhon Philip



Sore itu cuaca cukup cerah, suasana Rumah Bersalin"Ibunda" sangat ramai dipenuhi oleh para tamu dan sanak Famili dari keluarga Arjuna Sulistio. Mereka semua berkumpul untuk menantikan anak kedua keluarga tersebut, bapak Arjuna sendiri belum datang dari perjalan bisnisnya dari luar kota. " Bu, apa mas Arjuna sudah dihubungi ?" tanya nyonya Aminah Cendrakasih kepada iu mertuanya yang tengah menungguinya. "Sudah, nak kamu tenanglah, sebentar lagi dia juga sampai . Jangan banyak mikir, konsentrasilah dulu, sahut bu Cokro." " Saya takut bu" kalau mas Arjuna tidak disini, nanti anaknya yang kedua seperti Sunan, ahhh keluhnya nyonya Aminah lagi." "Alaaaahh....itukan hanya mitos, Sunan jadi seperti itu sekarang bukan karena Papanya tidak ada waktu dia lahir, sahut bu Cokro lagi." Hening sejenak, datang seseorang suster memeriksa kondisi Ibu Aminah, setelah menanyakan segala sesuatu, suster tersebut keluar dari ruangan . lalu tiba tiba..."Aduh...bu, perut ko' semakin sakit. Aduh....panggilakn dokter bu!" "Iiiyya...sabar..biar, Aku panggil, Dokter...!!! Dokter...!!! Cepat, cepat kemari, teriak bu Cokro." Tepat setelah Adzan magrib Nyonya Aminah melahirkan anaknya yang kedua dengan selamat. Bapak Arjuna baru sampai satu jam kemudian yang ditemani oleh anaknya yang pertama, Sunan. Anak kedua ini diberi nama Arjuna Sulistio Jr (Junior). Pertimbangan yang diambil, dengan memberi nama tersebut ialah agar ia tidak seperti abangnya, Sunan yang sering sakit. Ingatan kelahiran Arjuna Junior ternyata bukan kelahiran yang terakhir, karena Ibu Aminah melahirkan kembali dua orang anak setelah Arjuna Junior, Yaitu Aisah Sulistio, seorang wanita, dan Walidu Sulistio, seorang pria keempat saudara ini hidup dalam keluarga yang sangat makmur ekonominya. Walaupun ayah mereka otoriter tetapi mereka sangat bahagia karena sang ayah memanjakan mereka. " Ibu, kalau boleh aku ingin merayakan ulang tahun yang ke-19 di rumah nenek, lagi pula sudah bertahun-tahun perayaannya diselenggarakan disini." Celetuk Arjuna Jr, ketika mereka sedang santai di teras rumah. "Memangnya ada yang kurang dari perayaan ulang tahun sebelumnya?" tanya ibu Aminah. "Enggak, enggak ada yang kurang, tapi aku ingin banget ulang tahun kali ini bersama nenek" jawab Arjuna Jr. Menurut papa bagaimana ?" tanya ibu Aminah kepada suaminya."kalau papa sih setuju saja, tapi kamu mesti ingat, kamu mesti balik lagi kemari melanjutkan sekolah dan jangan keliaran di sana, Cetus Arjuna senior menanggapi keinginan anaknya." "Pa, kalau boleh Aisah."Tidak, tidak ada  yang boleh ikut kalian di sini saja, cukup hanya Ary saja yang berangkat", demikianlah Arjuna Jr biasa di sapa oleh keluarganya. "Ary, kamu nanti diantra sana mang Kadul supir kita." Lanjut Arjuna Sr lagi. Oke pa, jawab Arjuna Jr. Kepergian  Arjuna sebenarnya sangat tidak disetujui  oleh arjuna Sr, karena Ayahnya mengharap anak ini tetap dibawah kontrolnya, sehingga Arjuna Jr nantinya mampu menjadi pengganti Ayahnya untuk menjalankan roda perusahaannya.  Orang tua Arjuna Jr hampir bahkan tidak pernah mengajak anak anak merekan untuk pergi ke kampung halaman dari ibu mereka...(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar