PANCASILA,
TANTANGAN MELAWAN PEMISKINAN
Oleh : Dwi Rio Sambodo
Wakil Ketua Bidang Pendidikan, Kebudayaan & Keagamaan
DPD PDI Perjuangan Provinsi DKI Jakarta, 2010-2015
Wakil Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan-Komisi E (Bidang Pendidikan)
DPRD Provinsi DKI Jakarta, 2009-20014
“Kita hendak mendirikan suatu
negara, semua buat semua, bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik
golongan bangsawan maupun golongan yang kaya, tetapi semua buat semua, bukan hanya
untuk kelompok ini atau kelompok itu, tapi sekali lagi semua buat semua”
Kutipan pernyataan tersebut
mengiringi pidato Bung Karno di hadapan sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945.
Pidato ini menghentak dunia dengan lahirnya suatu gagasan tentang dasar Indonesia
merdeka, yaitu Pancasila. Pidato ini tidak saja sebagai pernyataan lahirnya
sebuah organisasi politik raksasa bernama Indonesia, lebih dari itu, pidato
yang meminjam istilah Buya Syafii Ma’arif sebagai masterpiece-nya
bangsa Indonesia ini adalah fundamen, pikiran yang sedalam-dalamnya (philosofische
grondslag), jiwa dan hasratnya bangsa Indonesia. Pidato pada tanggal 1
Juni 1945 ini yang di kemudian hari diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila
adalah momentum strategis bangsa Indonesia menghadapi belenggu penjajahan yang
sangat menindas, baik mental maupun materil. Hegemoni penjajah beratus-ratus
tahun akhirnya berhasil dirumuskan anti tesisnya oleh gagasan revolusioner Bung
Karno dengan Pancasilanya, yang berintisarikan tentang perjuangan pembebasan
dan persatuan bagi segenap rakyat Indonesia. Pidato ini menjadi titik balik
kesadaran kolektif sebuah bangsa, dari kesadaran sebagai bangsa yang serba
salah sebagai inlander (terjajah), menjadi kesadaran sebagai
sebuah bangsa yang serba benar; benar sebagai pribumi, benar sebagai
pemilik sah tanah bumi pertiwi, benar akan bangsa yang pernah mengalami
kejayaan, benar akan bangsa yang tidak rendah diri, benar sebagai bangsa yang
mempunyai mimpi dan gagasan yang besar akan lahirnya sebuah bangsa yang
sejahtera, berkeadilan dan bermartabat. Inilah yang dinamakan Bung Karno
sebagai lompatan paradigma bangsa Indonesia. Maka kemudian menurut Sang
Proklamator, kemerdekaan adalah jembatan emas dimana di seberangnya akan
dibangun suatu tatanan masyarakat yang adil dan makmur.
Pasang surut ideologi
bangsa
Sebagai ideologi bangsa, dalam
perjalanannya, Pancasila juga mengalami pasang surut. Ketika Orde Baru
berkuasa, Pancasila direduksi menjadi ideologi yang kaku dan formalistik karena
dianggap hanya sebagai pedoman perilaku individu yang didefinisikan melalui
butir-butir sila Ekaprasetya Pancakarsa atau yang dulu kita kenal P4.
Inilah strategi hegemoni kekuasaan untuk membungkam rakyat yang kritis terhadap
kebijakan pemerintah saat itu. Mereka yang mempertanyakan secara kritis
kebijakan dan arah pembangunan dianggap mengganggu ketertiban umum dan tidak
sesuai dengan norma-norma Pancasila serta dicap sebagai tidak Pancasilais. Pancasila
adalah pandangan hidup bangsa, yang pokoknya digali untuk mengatur dan mengarahkan
negara pada tujuan dan visi besar pendiriannya. Artinya segala peraturan dan
kebijakan negara harus berorientasi pada terciptanya tatanan masyarakat yang
berkesejahteraan dan berkeadilan. Pancasila sebagai ideologi bernegara,
ditangan rakyat haruslah menjadi acuan untuk menilai apakah negara dijalankan
sudah sesuai dengan visi besar dan tujuan pendiriannya. Ketika kedaulatan
negara sudah diremehkan oleh bangsa lain, kemandiriannya di bidang ekonomi
sudah tidak ada lagi dan kebudayaannya berada di lorong gelap karena pengaruh
pragmatisme dan hedonisme, Pancasila harusnya menjadi acuan untuk mengevaluasi
perilaku dan mengingatkan penguasa untuk kembali kepada tujuan mulia kita
berikrar bersama menjadi sebuah bangsa. Konsepsi bernegara oleh para Pendiri
Bangsa (Founding Fathers) untuk mencapai tujuannya diatur dalam sebuah
sistem demokrasi ala Indonesia. Bukan demokrasi liberal yang selalu
mengatasnamakan rakyat tetapi ternyata pada hakikatnya hanya menguntungkan
penguasa dan para pemilik modal. Demokrasi yang dimaksud dalam Pancasila tidak
hanya menyangkut demokrasi politik, akan tetapi juga tentang demokrasi ekonomi
yaitu kesetaraan hak dan kewajiban rakyat dalam akses ekonomi untuk tercapainya
kesejateraan bersama. Dalam prakteknya sejak era Orde Baru berkuasa, demokrasi
ekonomi yang mandiri berdikari sesuai cita-cita Pancasila paradoksal dengan
bangunan praktek sistem ekonomi yang lebih berorientasi pada pertumbuhan dan
lebih menguntungkan para pemilik modal. Kebijakan privatisasi, liberalisasi,
dan deregulasi ekonomi yang sudah berjalan sejak tahun 1967 dan terus
berlangsung hingga saat ini membawa ekonomi nasional dikuasai Asing hingga di
atas 50%. Bangunan dan konsepsi ekonomi yang mengacu pada sistem ekonomi
pasar tidak hanya menerjang kebijakan di level nasional, tapi ternyata sudah
merasuk jauh sampai ke level pemerintah lokal di daerah-daerah. Banyak
kebijakan dan produk hukum pemerintah daerah yang memperlihatkan absennya
mereka untuk membela kepentingan rakyat yang luas.
Demokrasi Ekonomi
Persoalan pemerintah Pusat
adalah persoalan pemerintah Daerah, pun sebaliknya. Sistem dan konsep
ekonomi kapitalis yang sudah berjalan hampir setengah abad di negeri ini, tentu
saja sudah berurat akar mencengkram sampai ke Pemerintah Daerah. Pasca tumbangnya
rezim Orde Baru yang sentralistik dengan sistem ekonomi yang berorientasi
pertumbuhan dan kemudian lahirnya Orde Reformasi dengan sistem pemerintahan
yang lebih desentralisasi, dimana pemerintah daerah diberi keleluasaan mengatur
ekonominya tanpa arahan bangunan sistem dan konsepsi ekonomi yang jelas dari
pusat. Maka tidak heran ketika begitu banyak produk hukum dan kebijakan ekonomi
di tingkat daerah bertentangan dengan prinsip dasar konstitusi (baca: Pancasila
dan UUD 1945). Jakarta sebagai pusat dari segala hiruk pikuk politik dan
ekonomi negeri ini tentu menjadi entitas pemerintahan lokal yang paling
tersentuh dan terimbas liberalisasi kebijakan ekonomi nasional. Persoalan yang
berhubungan dengan hajat hidup warga DKI Jakarta dari masa ke masa seolah tak
kunjung terurai. Masih sulitnya akses pendidikan yang dialami sebagian besar
masyarakat, persoalan kesehatan yang dikarenakan tidak terjangkaunya biaya
pengobatan yang mahal oleh si miskin, persoalan akses ekonomi yang hanya
dinikmati oleh orang kaya dan kroni penguasa, persoalan minimnya lapangan kerja
yang mengakibatkan pengangguran, persoalan transportasi, menjamurnya mall,
matinya pasar tradisional karena tidak diurus dan dikelola dengan baik,
jaringan minimarket yang menghimpit usaha kecil warga, persoalan banjir karena
pembangunan yang tidak terpimpin dan terencana secara baik, jaminan sosial yang
belum begitu menyentuh sasaran secara substantif, dll adalah daftar panjang
dari masalah ibukota yang tak terselesaikan karena arah kebijakan yang tidak
memiliki watak kerakyatan. Hal ini mungkin tidak hanya terjadi di Jakarta,
tetapi menjadi gambaran umum semua pemerintah daerah di negeri ini.
Negeri yang dikaruniai kelimpahan sumber daya alam yang tiada duanya di
muka bumi ini dibiarkan menjadi konsumen produk-produk impor. Konsep dan sistem
ekonomi yang mengacu pada konsep kapitalisme dan neoliberal yang sudah berjalan
selama kurang lebih empat dekade inilah yang membuat jurang ketidakadilan dan
ketimpangan kesejahteraan antara si kaya dan si miskin makin melebar yang pada
akhirnya membawa kepada kebangkrutan ekonomi nasional bila terus dijalankan.
Konsep ekonomi ini tentu saja tidak sesuai dan menyimpang dari cita-cita
Pancasila dan UUD 1945 yang menghendaki kesamaan hak dan kewajiban rakyat Indonesia
terhadap akses ekonomi yang mensejahterakan atau yang diistilahkan oleh para
pendiri bangsa sebagai demokrasi ekonomi. Salah satu ciri demokrasi ekonomi
adalah penguatan peran negara dalam mengatur perekonomian, dalam hal ini tentu
bukan pada negara yang dikooptasi oleh rezim yang korup dan mafia ekonomi.
Karena rezim seperti ini hanya akan menggunakan negara sebagai alat memperkaya
diri sendiri maupun kelompok. Negara yang kita dukung harusnya negara yang
berani dan cerdas merumuskan regulasi yang berpihak pada kepentingan rakyat
yang luas. Faktanya, dalam krisis keuangan global, hampir semua negara besar
beralih pada pengembalian fungsi negara dengan melakukan kontrol yang
ketat dan cenderung protektif pada kepentingan nasionalnya. Adagium bahwa pasar
memiliki mekanisme sendiri dalam menjawab persoalan publik terbukti gagal.
Menjadi tanggungjawab sejarah generasi sekarang biar tidak dianggap murtad oleh
para pendiri bangsa ini untuk mengembalikannya pada visi dan tujuan mulia
pendiriannya yaitu membawanya pada puncak kejayaan: merdeka, bersatu berdaulat,
adil dan makmur dalam Sosialisme Indonesia.
Kewajiban Reaktualisasi Pancasila
Berkaca pada melemahnya
Pancasila, yang ditunjukan dengan makin lemahnya peran negara dalam
kewajibannya meningkatkan kesejahteraan rakyat dan dibiarkannya bangsa ini
berjalan dan dikelola tanpa arah yang jelas, maka menjadi kewajiban historis
generasi sekarang untuk mereaktualisasikan kembali Pancasila menjadi
ideologi kerja yang operasional dan mampu rnembuktikan secara nyata serta
konkret akan tujuan dan visi mulianya yaitu sebagai teori perjuangan yang mampu
memerdekakan dan membebaskan rakyat dari kemiskinan dan pemiskinan struktural
yang terbukti dalam sejarah sebagai alat perjuangan yang menolak keras berbagai
bentuk penjajahan diatas muka bumi ini. Kondisi global dan dalam negeri
akhir-akhir ini didominasi oleh isu terorisme dan ketimpangan kesejahteraan.
Fenomena gerakan terorisme yang selalu mengatasnamakan agama harusnya dapat
dijernihkan pemaknaannya yaitu tentang ketidakadilan ekonomi akibat tatanan
ekonomi politik global yang makin timpang. Kondisi ini seolah menemukan
momentum bagi revitalisasi dan reaktualisasi nilai Pancasila. Semoga anak
bangsa ini mengambil peran historis untuk membawa bangsa Indonesia kepada
puncak kejayaannya dan kembali menjadi tokoh utama dalam tatanan dunia baru
yang berkeadilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar